Ilustrasi Lenin(foto Facebook Denny K Kobogau) |
Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa
untuk Menentukan Nasib Sendiri
TESIS
V.I. Lenin (1916)
Ditulis: antara Januari-Februari 1916
Diterbitkan: pada April 1916 di majalah Vorbote No 2.
Diterbitkan juga dalam bahasa Rusia pada Oktober 1916 di Sbornik Sotsial-Demokrata,
No 1.
Penerjemah: Dipo Negoro (6 Juni 2013)
Penyunting: Ted Sprague
Sumber Terjemahan: "The Socialist Revolution and the Right of
Nations to Self-Determination"
1. Imperialisme,
Sosialisme dan Pembebasan Bangsa Tertindas
Imperialisme adalah
tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Kapital di negeri-negeri maju
telah berkembang melebihi batasan-batasan Negara-bangsa. Kapital telah
membangun monopoli yang menggantikan persaingan, dengan begitu menciptakan
semua syarat objektif untuk mencapai sosialisme. Oleh sebab itu di Eropa Barat
dan di Amerika Serikat, perjuangan revolusioner kaum proletar untuk
penggulingan pemerintahan-pemerintahan kapitalis, untuk pengambilalihan
aset-aset borjuasi, adalah sesuatu yang mendesak hari ini. Imperialisme memaksa
massa ke dalam perjuangan ini dengan mempertajam antagonisme-antagonisme klas
hingga ke tingkatan yang sangat besar, dengan memperburuk kondisi-kondisi massa
baik secara ekonomi – hutang dan biaya hidup yang tinggi, serta secara politik –
tumbuhnya militerisme, peperangan-peperangan yang terus terjadi, meningkatnya
reaksi, semakin kuat dan meluasnya penindasan terhadap bangsa-bangsa dan
penjarahan kolonial.
Kemenangan sosialisme
harus mencapai demokrasi yang sepenuhnya dan, sebagai akibatnya, tidak hanya
membawa kesetaraan sepenuh-penuhnya di antara bangsa-bangsa, tetapi juga
memberikan hak kepada bangsa-bangsa yang tertindas untuk menentukan nasibnya
sendiri, yaitu hak untuk bebas memisahkan diri secara politik. Partai-partai
Sosialis yang gagal membuktikan dengan seluruh aktivitas mereka hari ini, dan
juga saat revolusi serta setelah kemenangannya, bahwa mereka akan membebaskan
bangsa-bangsa yang tertindas dan membangun hubungan dengan mereka di atas dasar
sebuah persatuan yang bebas – dan sebuah persatuan yang bebas adalah sebuah
formula kosong bila tidak disertai dengan hak untuk memisahkan diri – partai
yang seperti itu akan melakukan pengkhianatan terhadap sosialisme.
Tentu saja demokrasi
juga merupakan sebuah bentuk Negara yang harus hilang ketika Negara menghilang,
namun hal ini akan terjadi hanya dalam proses transisi dari sosialisme yang
terkonsolidasi dan menang sepenuhnya menuju ke komunisme sepenuhnya.
2. Revolusi Sosialis dan
Perjuangan Untuk Demokrasi
Revolusi Sosialis
bukanlah sebuah tindakan tunggal, bukanlah sebuah pertempuran tunggal dalam
satu front yang tunggal, namun adalah keseluruhan jaman konflik-konflik klas
yang semakin intensif, sebuah rangkaian panjang pertempuran di seluruh front,
yaitu pertempuran seputar semua masalah ekonomi dan politik, yang dapat
memuncak hanya dalam pengambilalihan hak-milik kaum borjuasi. Akan menjadi
kesalahan pokok untuk menganggap bahwa perjuangan untuk demokrasi dapat
membelokkan proletariat dari revolusi sosialis, atau menghalang-halangi, atau
mengaburkannya, dsb.
Sebaliknya, seperti
halnya sosialisme tidak dapat menang kecuali kalau sosialisme memajukan
demokrasi seutuhnya, maka proletariat tidak akan mampu menyiapkan kemenangan
terhadap borjuasi kecuali kalau proletariat melancarkan perjuangan yang luas,
konsisten dan revolusioner untuk demokrasi.
Akan juga menjadi
kesalahan untuk menghilangkan poin apapun dari program demokratik, sebagai
contoh, poin hak penentuan nasib sendiri dari sebuah bangsa, atas dasar bahwa
program itu “tidak dapat dicapai”, atau bahwa itu adalah “ilusi” di bawah
imperialisme. Pernyataan bahwa hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri
tidak bisa dicapai dalam kerangka kapitalisme dapat dimengerti dengan melihat
makna ekonomi yang absolut, atau dalam makna politik yang konvensional.
Dalam makna yang
pertama, pernyataan tersebut secara fundamental salah dalam teori. Pertama,
dalam makna ini, adalah tidak mungkin untuk mendapatkan hal-hal seperti kerja
yang dibayar sesuai dengan nilainya atau penghapusan krisis, dsb di bawah
kapitalisme. Namun sepenuhnya salah untuk juga berpendapat bahwa hak penentuan
nasib sendiri juga tidak dapat dicapai. Kedua, bahkan contoh Norwegia yang
memisahkan diri dari Swedia pada 1905 cukup untuk menyanggah argumentasi bahwa pemisahaan
diri sebuah bangsa “tidak dapat dicapai”. Ketiga, akan menggelikan untuk
menyangkal bahwa dengan sedikit perubahan dalam hubungan politik dan strategis,
sebagai contoh antara Jerman dan Inggris, pembentukan Negara-negara baru,
Polandia, India, dsb dapat “dicapai” dengan cepat. Keempat, kapital finans,
dalam usahanya untuk ekspansi, akan “secara bebas” membeli dan menyuap
pemerintahan yang paling bebas, paling demokratik dan paling republik serta
para pejabat terpilih dari negeri manapun, bagaimanapun “independennya”
pemerintahan tersebut.
Dominasi kapital finans,
seperti juga kapital secara umum, tidak dapat dihilangkan oleh reformasi bentuk
apapun di dalam ranah demokrasi politik, dan hak penentuan nasib sendiri secara
keseluruhan dan eksklusif ada di dalam ranah tersebut. Namun dominasi kapital
finans tidak sedikitpun menghancurkan signifikansi demokrasi politik sebagai
bentuk penindasan kelas dan perjuangan kelas yang lebih bebas, lebih luas, dan
lebih jelas. Oleh karena itu semua argumentasi yang menyatakan bahwa
“kemustahilan mencapai” secara ekonomi salah satu tuntutan demokrasi politik di
dalam kapitalisme mereduksi diri mereka sendiri ke dalam sebuah definisi yang
secara teori keliru mengenai relasi-relasi umum dan fundamental dari kapitalisme
dan dari demokrasi politik secara umum.
Dalam makna yang kedua,
pernyataan tersebut adalah tidak lengkap dan tidak tepat, karena bukan hanya
hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi juga semua tuntutan
pokok dalam demokrasi politik adalah “mungkin untuk dicapai” di bawah
imperialisme, hanya dalam bentuk yang tidak lengkap, termutilasi dan sebagai
sebuah pengecualian yang langka (sebagai contoh, pemisahaan Norwegia dari
Swedia pada 1905). Tuntutan untuk kemerdekaan segera bagi negeri-negeri
jajahan, seperti yang diajukan oleh semua kaum Sosial Demokrat revolusioner,
juga “tidak mungkin dicapai” di bawah kapitalisme tanpa serangkaian revolusi.
Akan tetapi ini bukan berarti bahwa Sosial Demokrasi harus menahan diri dari
melancarkan sebuah perjuangan yang segera dan paling tegas untuk semua tuntutan
tersebut – untuk menahan diri hanya akan memberikan keuntungan pada borjuasi
dan reaksi. Sebaliknya, hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa
penting untuk memformulasikan dan memajukan semua tuntutan tersebut, bukan
dengan cara yang reformis, namun dengan cara yang revolusioner; bukan dalam
kerangka legalitas borjuasi, namun dengan menerobosnya; bukan dengan membatasi
diri pada pidato-pidato parlementer dan protes-protes verbal, namun dengan
mendorong massa ke dalam aksi yang riil, dengan memperluas dan mengobarkan
perjuangan untuk setiap tuntutan demokratik yang pokok, sampai dengan dan
termasuk juga serangan langsung proletariat terhadap borjuasi, yakni sampai ke
revolusi sosialis yang akan melucuti borjuasi. Revolusi sosialis dapat terjadi
bukan hanya akibat pemogokan umum, demonstrasi jalanan, kerusuhan akibat
kelaparan, pemberontakan di dalam tentara atau pemberontakan di negeri-negeri
jajahan, namun juga akibat krisis politik apapun, seperti skandal Dreyfus[1],
insiden Zabern[2],
atau dalam hubungannya dengan referendum untuk memisahkan diri dari sebuah
bangsa yang tertindas, dsb.
Intensifikasi penindasan
nasional di bawah imperialisme menjadikan sebuah keharusan bagi Sosial
Demokrasi untuk tidak meninggalkan apa yang digambarkan oleh borjuasi sebagai
perjuangan “utopis” bagi kemerdekaan bangsa-bangsa untuk memisahkan diri,
tetapi, sebaliknya, untuk mengambil keuntungan lebih banyak dari
konflik-konflik yang juga muncul atas dasar perjuangan tersebut dengan tujuan
untuk membangkitkan aksi massa dan serangan revolusioner terhadap borjuasi.
3. Makna Hak Penentuan
Nasib Sendiri dan Hubungannya dengan Federasi
Hak bangsa-bangsa untuk
menentukan nasibnya sendiri bermakna hanya hak untuk kemerdekaan dalam arti
politik, hak untuk pemisahan politik secara bebas dari bangsa yang menindas.
Secara konkrit, tuntutan demokratik dan politik ini berarti kebebasan
sepenuhnya untuk beragitasi mendukung pemisahan diri dan kebebasan untuk
menyelesaikan persoalan pemisahan diri dengan cara referendum dari bangsa yang
ingin memisahkan diri. Sebagai akibatnya, tuntutan ini bukan berarti identik
dengan tuntutan memisahkan diri, untuk partisi, untuk pembentukan negeri-negeri
yang kecil. Tuntutan tersebut adalah ekspresi logis dari perjuangan melawan
penindasan nasional dalam setiap bentuk. Semakin dekat sistem demokratik negeri
tersebut kepada kebebasan sepenuhnya untuk memisahkan diri, akan menjadi
semakin lemah dan jarang praktek untuk memperjuangkan pemisahan diri; karena
keuntungan-keuntungan dari negeri-negeri yang besar, baik dari sudut pandang
perkembangan ekonomi dan dari sudut pandang kepentingan massa, adalah hal yang
tidak diragukan lagi; dan keuntungan-keuntungan ini meningkat seiring dengan
pertumbuhan kapitalisme. Pengakuan terhadap hak penentuan nasib sendiri
tidaklah sama dengan membuat federasi menjadi sebuah prinsip. Seseorang dapat
saja menentang dengan teguh prinsip federasi tersebut dan mendukung sentralisme
demokratik, namun lebih memilih federasi ketimbang ketidaksetaraan nasional
sebagai jalan satu-satunya untuk menuju sentralisme demokratik yang utuh.
Adalah dari cara pandang ini, Marx, meskipun seorang sentralis, lebih memilih
federasi Irlandia dengan Inggris ketimbang penundukan paksa Irlandia kepada Inggris.
Tujuan sosialisme adalah
bukan hanya untuk menghapus pembagian umat manusia hari ini ke dalam
negeri-negeri kecil dan semua isolasi nasional; bukan hanya untuk membawa
bangsa-bangsa menjadi semakin dekat, namun juga untuk menyatukan mereka. Dan untuk
mencapai tujuan ini kita harus, di satu sisi, menjelaskan kepada massa sifat
reaksioner dari ide-ide Renner dan Otto Bauer mengenai apa-yang-disebut-sebagai
“otonomi budaya nasional” dan, di sisi yang lain, menuntut kemerdekaan
bangsa-bangsa yang tertindas, bukan dalam kata-kata umum dan samar-samar, bukan
dalam pernyataan-pernyataan kosong, bukan dengan “menunda” persoalan tersebut
hingga sosialisme dimenangkan, namun dengan sebuah program politik yang
terformulasikan secara jelas dan tepat, yang secara khusus akan menjelaskan
kemunafikan dan kepengecutan kaum Sosialis di negeri-negeri yang menindas.
Seperti juga umat manusia dapat mencapai penghapusan klas-klas hanya dengan
melewati periode transisi dari kediktaktoran klas-klas yang tertindas, demikian
juga umat manusia dapat mencapai keniscayaan persatuan bangsa-bangsa hanya
dengan melewati periode kemerdekaan sepenuhnya dari semua bangsa-bangsa yang
tertindas, yaitu kebebasan mereka untuk memisahkan diri.
4. Presentasi
Proletariat Revolusioner Mengenai Persoalan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan
Nasib Sendiri
Bukan hanya tuntutan hak
sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri namun juga semua item dari program
demokratik minimum kita telah diajukan sebelum kita, jauh sejak abad ke tujuh
belas dan delapan belas, oleh kaum borjuis kecil. Dan kaum borjuis kecil, yang
percaya pada kapitalisme “damai”, hingga hari ini terus mengedepankan semua
tuntutan tersebut dengan cara utopis, tanpa melihat perjuangan klas dan fakta
bahwa perjuangan kelas ini telah menjadi semakin intensif di bawah demokrasi.
Gagasan persatuan damai dari bangsa-bangsa yang setara di bawah imperialisme,
yang menipu rakyat, dan yang diajukan oleh kelompok Kautsky[3],
adalah seperti itu. Untuk melawan kaum utopis yang filistin dan oportunis ini,
program Sosial Demokrasi harus menunjukkan bahwa di bawah imperialisme
pembagian bangsa-bangsa menjadi yang menindas dan yang tertindas adalah sebuah
kenyataan yang pokok, yang paling penting dan tidak dapat dihindari.
Kaum proletariat dari
bangsa-bangsa yang menindas tidak dapat membatasi dirinya sendiri pada
ungkapan-ungkapan yang umum dan lazim menentang aneksasi dan mendukung hak yang
setara dari bangsa-bangsa secara umum, sesuatu yang dapat diulang-ulang oleh
kaum borjuasi pasifis manapun. Proletariat tidak dapat menghindari masalah yang
sangat “tidak menyenangkan” bagi kaum borjuasi imperialis, yakni, masalah
perbatasan sebuah bangsa yang berdasarkan atas penindasan nasional. Kaum
proletariat harus melawan pengekangan paksa bangsa-bangsa yang tertindas di
dalam batas-batas bangsa tertentu, dan inilah makna perjuangan untuk hak
penentuan nasib sendiri. Kaum proletariat harus menuntut hak politik untuk
memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan dan bagi bangsa-bangsa yang ditindas
oleh bangsanya “sendiri”. Jika kaum proletariat tidak melakukan hal itu,
internasionalisme proletariat akan menjadi ungkapan yang tidak bermakna; saling
percaya dan solidaritas klas antar buruh dari bangsa-bangsa yang menindas dan
tertindas akan menjadi mustahil; kemunafikan dari kaum reformis dan para
pendukung Kautsky yang mendukung hak penentuan nasib sendiri namun bungkam
mengenai bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsa “mereka” dan dipenjara secara
paksa di dalam negeri “mereka” akan tetap tidak terekspos.
Kaum Sosialis dari
bangsa-bangsa yang tertindas, di sisi yang lain, secara khusus harus berjuang
untuk dan mempertahankan persatuan absolut (juga secara organisasional) antara
buruh dari bangsa yang tertindas dengan buruh dari bangsa yang menindas. Tanpa
persatuan semacam itu akan menjadi mustahil untuk mempertahankan kebijakan
proletariat yang independen dan solidaritas klas dengan proletariat dari
negeri-negeri lain di hadapan semua akal-akalan, pengkhianatan dan tipu daya
borjuasi; karena kaum borjuasi dari bangsa yang tertindas selalu mengubah
slogan pembebasan nasional menjadi alat untuk menipu buruh; dalam politik
internal kaum borjuasi bangsa yang tertindas menggunakan slogan tersebut
sebagai alat untuk melakukan perjanjian-perjanjian reaksioner dengan kaum
borjuasi dari bangsa yang berkuasa (sebagai contoh, kaum borjuasi Polandia di
Austria dan Rusia, yang membuat perjanjian dengan kelompok reaksi untuk
menindas kaum Yahudi dan orang Ukraina); dalam ranah politik luar negeri dia
berusaha membuat perjanjian dengan salah satu pesaing kekuatan imperialis
dengan tujuan untuk memenangkan kepentingan-kepentingan predatornya sendiri
(kebijakan negeri-negeri kecil di Balkan, dsb).
Kenyataan bahwa di bawah
kondisi-kondisi tertentu perjuangan pembebasan nasional melawan satu kekuatan
imperialis dapat digunakan oleh Kekuatan “Besar” lainnya untuk kepentingan yang
juga imperialis tidak boleh mendorong Sosial Demokrasi untuk mencampakkan
pengakuan terhadap hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, seperti
halnya dalam banyak kasus dimana kaum borjuasi menggunakan slogan republik
untuk tujuan penipuan politik dan perampokan ekonomi, contohnya di negeri-negeri
Amerika Latin, tidak mendorong mereka untuk meninggalkan republikanisme.
5. Marxisme dan
Proudhonisme Mengenai Persoalan Kebangsaan
Berkebalikan dengan kaum
demokrat borjuis-kecil, Marx menganggap semua tuntutan demokratik, tanpa
terkecuali, bukanlah sebagai sebuah hal yang aboslut, namun merupakan ekspresi
sejarah dari perjuangan massa rakyat, yang dipimpin oleh kaum borjuasi, dalam
melawan feodalisme. Tidak ada satu tuntutan demokratik pun yang tidak dapat
menjadi, atau belum menjadi, di bawah kondisi-kondisi tertentu, sebuah
instrumen kaum borjuasi untuk menipu kaum buruh. Untuk hanya memilih satu
tuntutan demokrasi politik, yaitu, hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib
sendiri, dan mempertentangkannya dengan tuntutan-tuntutan demokrasi politik lainnya,
adalah secara fundamental keliru dalam teori. Dalam praktek, kaum proletariat
akan mampu mempertahankan kemandiriannya hanya jika dia mensubordinasikan
perjuangannya untuk semua tuntutan demokratik, termasuk juga tuntutan untuk
sebuah republik, kepada perjuangan revolusionernya untuk menggulingkan
borjuasi.
Di sisi yang lain,
berkebalikan dari kelompok Proudhon, yang “menolak” persoalan kebangsaan “atas
nama revolusi sosial”, Marx, yang memikirkan terutama kepentingan perjuangan
klas buruh di negeri-negeri maju, memajukan prinsip pokok internasionalisme dan
sosialisme, yakni bahwa tidak ada bangsa yang dapat bebas jika ia menindas
bangsa lain. Justru dari sudut pandang kepentingan gerakan revolusioner dari
kaum buruh Jerman Marx pada tahun 1898 menuntut supaya demokrasi yang
menang-jaya di Jerman harus memproklamirkan dan memberikan kemerdekaan kepada
bangsa-bangsa yang ditindas oleh Jerman. Justru dari sudut pandang perjuangan
revolusioner kaum buruh Inggris Marx pada tahun 1869 menuntut pemisahan Irlandia
dari Inggris, dan menambahkan: “…meskipun setelah pemisahan mungkin akan muncul
federasi.” Hanya dengan memajukan tuntutan tersebut maka Marx benar-benar
mendidik kaum buruh Inggris dalam semangat internasionalisme. Hanya dengan cara
itu dia mampu mempertentangkan solusi revolusioner dari sebuah masalah historis
tertentu dengan kaum oportunis dan reformisme borjuis, yang bahkan hingga
sekarang, setengah abad kemudian, telah gagal untuk mencapai “reforma”
Irlandia. Hanya dengan cara ini Marx dapat – tidak seperti para apologis
kapital yang berteriak-teriak mengenai hak bangsa-bangsa kecil untuk memisahkan
diri sebagai sesuatu yang utopis dan mustahil, dan mengenai sifat progresif
dari konsentrasi ekonomi dan juga politik – mendorong sifat progresif dari
konsentrasi tersebut dengan cara yang non-imperialis, untuk mendorong persatuan
dari bangsa-bangsa, bukan dengan pemaksaan, namun atas dasar persatuan bebas
kaum proletariat dari semua negeri. Hanya dengan cara ini Marx mampu, juga
dalam hal solusi untuk persoalan kebangsaan, mempertentangkan aksi revolusioner
massa dengan pengakuan verbal dan yang seringkali munafik atas kesetaraan dan
hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Perang Imperialis tahun
1914-16 dan kandang Augean[4]
kemunafikan dari kaum oportunis dan para Kautskyian yang dibongkarnya telah
menegaskan kebenaran kebijakan Marx, yang harus menjadi model untuk semua
negeri-negeri maju; karena mereka semua saat ini menindas bangsa-bangsa lain.
6. Tiga Tipe Negeri
Dalam Hubungannya dengan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri
Dalam hal ini,
negeri-negeri harus dibagi menjadi tiga tipe utama:
Pertama, negeri-negeri
kapitalis maju Eropa Barat dan Amerika Serikat. Di negeri-negeri ini gerakan
borjuis nasional yang progresif telah berakhir lama sekali. Setiap bangsa
“besar” tersebut menindas bangsa lain di dalam negeri-negeri jajahan dan di
dalam negeri mereka sendiri. Tugas proletariat di negeri-negeri berkuasa
tersebut adalah sama dengan proletariat di Inggris pada abad kesembilan belas
dalam hubungannya dengan Irlandia.
Kedua, Eropa Timur:
Austria, Balkan dan terutama Rusia. Di sini adalah abad keduapuluh yang secara
khusus mengembangkan gerakan nasional borjuis-demokratik dan mengintensifkan
perjuangan nasional. Tugas proletariat di negeri-negeri tersebut – berkaitan
dengan pemenuhan reformasi borjuis-demokratik mereka, juga berkaitan dengan
membantu revolusi sosialis di negeri-negeri lainnya – tidak dapat tercapai
kecuali kalau mereka mendukung hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib
sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut tugas paling sulit namun paling penting
adalah untuk menggabungkan perjuangan klas dari kaum buruh bangsa-bangsa yang
menindas dengan perjuangan klas dari kaum buruh bangsa-bangsa yang tertindas.
Ketiga, negeri-negeri
semi-kolonial seperti Cina, Persia, Turki dan semua negeri-negeri jajahan, yang
total populasinya berjumlah hingga satu miliar. Di negeri-negeri tersebut,
gerakan borjuis-demokratik entah baru saja mulai atau jauh sekali dari selesai.
Kaum sosialis bukan saja harus menuntut kemerdekaan tanpa syarat dan segera
untuk negeri-negeri jajahan tanpa kompensasi – dan tuntutan ini dalam ekspresi
politiknya berarti, tidak kurang dan tidak lebih, pengakuan atas hak penentuan
nasib sendiri – tetapi juga harus memberikan dukungan tegas kepada
elemen-elemen yang lebih revolusioner dalam gerakan borjuis-demokratik untuk
pembebasan nasional di negeri-negeri tersebut dan membantu pemberontakan mereka
– jika perlu, perang revolusioner mereka – melawan kekuatan-kekuatan imperialis
yang menindas mereka.
7. Sosial-Sovinisme dan
Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri
Epos Imperialis dan perang
tahun 1914-1916 [Perang Dunia Pertama] terutama sekali telah membawa ke depan
tugas melawan sovinisme dan nasionalisme di negeri-negeri maju. Mengenai
masalah hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, ada dua macam
pendapat di antara kaum sosial-sovinis, yaitu kaum oportunis dan kaum
Kautskyian, yang memberikan hiasan pada perang imperialis yang reaksioner ini
dengan menyatakannya sebagai perang untuk “membela tanah air”.
Di satu sisi, ada para
pelayan borjuasi yang membela aneksasi dengan alasan bahwa konsentrasi politik
dan imperialisme adalah sesuatu yang progresif dan yang menolak hak penentuan
nasib sendiri dengan alasan bahwa hal itu adalah utopis, ilusi, borjuis kecil,
dsb. Di antara mereka adalah Cunow[5],
Parvus[6]
dan para oportunis ekstrim di Jerman, sebagian dari kaum Fabian[7]
dan para pemimpin serikat buruh di Inggris, dan kaum oportunis, Semkovsky,
Liebman, Yurkevich, dan yang lainnya di Rusia.
Di sisi yang lain, ada
kaum Kautskyian, termasuk Vandervelde[8],
Renaudel[9] dan
banyak kaum pasifis di Inggris, Perancis, dsb. Mereka mendukung persatuan
dengan orang-orang yang disebut sebelumnya, dan dalam praktek tingkah laku
mereka adalah sama, dimana mereka mendukung hak penentuan nasib sendiri dengan
cara yang sepenuhnya verbal dan munafik. Mereka menganggap tuntutan untuk
kebebasan pemisahan politik sebagai sesuatu yang “berlebihan” (“zu viel
verlangt” – Kautsky dalam Neue Zeit, 21 Mei 1915); mereka tidak mendukung
perlunya taktik-taktik revolusioner, terutama sekali untuk kaum Sosialis di
negeri-negeri yang menindas, tetapi, sebaliknya, mereka mengabaikan kewajiban
revolusioner mereka, mereka membenarkan oportunisme mereka, mereka mempermudah penipuan
terhadap rakyat, mereka justru menghindari masalah perbatasan sebuah negeri
yang dengan paksa mengekang bangsa-bangsa jajahan, dsb.
Kedua kelompok ini
adalah kaum oportunis yang melacurkan Marxisme dan telah kehilangan semua
kapasitas untuk memahami makna teoritis dan urgensi praktis dari taktik-taktik
Marx, dimana dia telah memberikan sebuah contoh terkait dengan Irlandia.
Masalah aneksasi telah
menjadi sebuah masalah yang terutama mendesak karena perang. Namun apa itu
aneksasi! Jelas, untuk melakukan protes terhadap aneksasi menyiratkan entah
pengakuan atas hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, atau bahwa
protes tersebut berdasarkan frase pasifis yang membela status quo dan menentang
semua kekerasan termasuk kekerasan revolusioner. Frase semacam ini sangatlah
keliru, dan tidak sesuai dengan Marxisme.
8. Tugas-tugas Kongkrit
Proletariat ke Depan
Revolusi sosialis dapat
saja mulai dalam waktu yang sangat dekat. Pada momen tersebut kaum proletariat
akan dihadapkan dengan tugas mendesak untuk merebut kekuasaan, mengambil alih
bank-bank dan melakukan langkah-langkah diktaktorial lainnya. Dalam situasi
semacam itu, kaum borjuasi, dan terutama sekali para intelektual seperti kaum
Fabian dan kaum Kautskyian, akan berusaha untuk menghambat dan mengganggu
revolusi, untuk membatasinya pada tujuan-tujuan demokratik yang sempit.
Sementara semua tuntutan yang murni demokratik dapat saja – pada saat
proletariat telah mulai menyerbu benteng-benteng kekuasaan borjuasi – dalam
makna tertentu menjadi hambatan bagi revolusi, meskipun demikian, keharusan
untuk mewartakan dan memberikan kebebasan kepada semua bangsa-bangsa tertindas
(yaitu hak mereka untuk menentukan nasib sendiri) akan sama mendesaknya dalam
revolusi sosialis seperti juga mendesak bagi kemenangan revolusi
borjuis-demokratik, contohnya di Jerman 1848 atau di Rusia pada 1905.
Namun, lima tahun,
sepuluh tahun atau bahkan lebih lama lagi bisa belalu sebelum revolusi sosialis
dimulai. Dalam hal itu, tugas kita adalah untuk mendidik massa dalam semangat
revolusioner agar membuat mustahil bagi kaum sovinis dan oportunis Sosialis
untuk berada dalam partai buruh dan mencapai kemenangan serupa seperti tahun
1914-1916. Menjadi tugas kaum Sosialis untuk menjelaskan kepada massa bahwa
kaum Sosialis Inggris yang gagal menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi
negeri-negeri jajahan dan bagi Irlandia; bahwa kaum Sosialis Jerman yang gagal
menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan, bagi
rakyat Alsatian[10],
bagi Denmark dan bagi Polandia, dan yang gagal untuk menjalankan propaganda
revolusioner langsung serta aksi massa revolusioner ke dalam medan perjuangan
melawan penindasan nasional, yang gagal untuk menggunakan kasus-kasus seperti
insiden Zabern untuk melancarkan propaganda bawah tanah yang luas di antara
kaum proletariat dari bangsa yang menindas, untuk mengorganisir demonstrasi
jalanan dan aksi massa revolusioner; bahwa kaum Sosialis Rusia yang gagal untuk
menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi Finlandia, Polandia, Ukraina,
dsb, dsb – bertingkah laku seperti kaum sovinis, seperti antek-antek dari kaum
borjuasi imperialis dan monarki imperialis yang berlumuran darah dan lumpur.
9. Sikap Sosial
Demokrasi Rusia dan Polandia serta Internasional Kedua[11] terhadap Hak
Penentuan Nasib Sendiri.
Perbedaan antara kaum
Sosial Demokrat revolusioner Rusia dan Sosial Demokrat Polandia mengenai
masalah hak penentuan nasib sendiri muncul sedini tahun 1903 di kongres yang
mensahkan program Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia, dan yang, kendati protes
dari delegasi Sosial Demokrat Polandia, memasukkan program di poin 9, yang
mengakui hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Sejak saat itu
kaum Sosial Demokrat Polandia, atas nama Partai mereka, tidak pernah mengulangi
pengajuan untuk menghilangkan poin 9 dari program kita atau untuk
menggantikannya dengan formulasi yang lainnya.
Di Rusia – dimana tidak
kurang dari 57 persen, yakni lebih dari 100 juta populasi, berasal dari
bangsa-bangsa yang tertindas, dimana bangsa-bangsa tersebut terutama menempati
provinsi-provinsi di perbatasan, dimana beberapa dari bangsa-bangsa tersebut
lebih berbudaya ketimbang Rusia Raya, dimana sistem politik dibedakan oleh
karakternya yang sangat barbar dan abad-pertengahan, dimana revolusi
borjuis-demokratik belum dituntaskan – pengakuan hak sebuah bangsa yang
ditindas oleh tsarisme untuk bebas memisahkan diri dari Rusia adalah sepenuhnya
kewajiban bagi Sosial Demokrasi demi kepentingan tugas-tugas demokratik dan
sosialisnya. Partai Kita, yang didirikan ulang pada Januari 1912, mensahkan
resolusi pada 1913 yang menegaskan hak untuk menentukan nasib sendiri dan
menjelaskannya dalam makna yang kongkrit seperti yang dijelaskan di atas.
Kegilaan sovinisme Rusia-Raya berkecamuk pada 1914-16 di antara kaum borjuasi
dan kaum Sosialis oportunis (Rubanovich[12],
Plekhanov[13],
Nashe Dyelo[14],
dsb) mendorong kita untuk menuntut lebih kuat ketimbang sebelumnya dan untuk
menyatakan bahwa mereka-mereka yang menolaknya melayani, dalam praktek, benteng
sovinisme dan tsarisme Rusia Raya. Partai kita menyatakan bahwa kita dengan
tegas menolak semua tanggung jawab atas oposisi terhadap hak penentuan nasib
sendiri.
Formulasi terakhir dari
posisi Sosial Demokrasi Polandia terhadap persoalan kebangsaan (deklarasi yang
dibuat oleh Sosial Demokrasi Polandia di Konferensi Zimmerwald[15])
mengandung ide-ide sebagai berikut:
Deklarasi ini mengutuk
Jerman dan pemerintahan lainnya yang menganggap “provinsi Polandia” sebagai
sandera untuk permainan kompensasi mendatang dan dengan demikian “merampas dari
rakyat Polandia hak untuk menentukan nasibnya sendiri.” Deklarasi ini
menyatakan: “Sosial Demokrasi Polandia secara tegas dan serius memprotes
pemecahan dan partisi terhadap sebuah negeri” … Sosial Demokrasi Polandia
mengutuk kaum Sosialis yang menyerahkan kepada Hohenzollern[16] “tugas
membebaskan bangsa-bangsa tertindas.” Sosial Demokrasi Polandia mengekspresikan
keyakinan bahwa hanya dengan partisipasi dalam perjuangan kaum proletariat
internasional revolusioner yang akan datang, dan hanya dalam perjuangan untuk
sosialisme, “rantai beban penindasan nasional dapat dihancurkan dan menghapus
semua bentuk dominasi asing, dan memastikan untuk rakyat Polandia kemungkinan
untuk berkembang secara bebas dan menyeluruh sebagai anggota yang setara di
dalam sebuah Liga Bangsa-Bangsa.” Deklarasi ini juga mengakui bahwa perang yang
sekarang ada adalah “perang saudara ganda” “bagi rakyat Polandia.” (Bulletin
of the International Socialist Committee, No. 2, 27 September 1915, hlm
15.)
Tidak ada perbedaan
dalam substansi antara postulat-postulat di atas dengan pengakuan hak sebuah
bangsa untuk menentukan nasib sendiri kecuali bahwa formulasi politik mereka
masih terlalu kabur dan samar-samar ketimbang mayoritas program dan resolusi
dari Internasional Kedua . Usaha apapun untuk mengekspresikan ide-ide tersebut
dalam formula politik yang tepat dan untuk menentukan apakah ide-ide ini
berlaku dalam sistem kapitalis atau hanya di dalam sistem sosialis akan semakin
jelas membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh kaum Sosial-Demokrat Polandia
dalam menyangkal hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri.
Keputusan Kongres
Internasional Kedua yang diselenggarakan di London pada 1896, yang mengakui hak
sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, harus, di atas dasar
postulat-postulat yang disebutkan di atas, ditambahi dengan referensi pada: (1)
urgensi yang terutama dari tuntutan ini di bawah imperialisme; (2) sifat
kondisional secara politik dan isi klas dari semua tuntutan demokrasi politik,
termasuk tuntutan ini; (3) perlunya membedakan tugas-tugas konkrit dari kaum
Sosial Demokrat di bangsa-bangsa yang menindas dan di bangsa-bangsa yang
tertindas; (4) pengakuan hak penentuan nasib sendiri dari kaum oportunis dan
kaum Kautskyian yang tidak konsisten, sepenuhnya verbal, dan, oleh karenanya,
sejauh signifikansi politiknya, munafik; (5) kesamaan yang sesungguhnya antara
kaum sonivis dan kaum Sosial Demokrat, terutama sekali kaum Sosial Demokrat
dari Kekuatan-kekuatan Besar (Rusia Raya, Anglo-Amerika, Jerman, Perancis,
Italia, Jepang, dsb) yang tidak mendukung kebebasan untuk memisahkan diri bagi
koloni-koloni dan bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsa “mereka sendiri”; (6)
perlunya mensubordinasi perjuangan untuk tuntutan ini, dan juga untuk semua
tuntutan demokrasi politik yang pokok, kepada perjuangan massa revolusioner
yang segera untuk menggulingkan pemerintahan borjuis dan untuk mencapai
sosialisme.
Untuk mencangkokkan
kepada Internasional cara pandang beberapa bangsa-bangsa kecil – terutama
sekali cara pandang kaum Sosial Demokrat Polandia yang dalam perjuangannya
melawan borjuasi Polandia, yang menipu rakyat dengan slogan-slogan nasionalis,
disesatkan ke penolakan hak menentukan nasib sendiri – akan merupakan kesalahan
teoritis. Itu akan menggantikan Marxisme dengan Prodhounisme dan, dalam
praktek, akan memberikan dukungan tidak-sengaja kepada sovinisme dan
oportunisme yang paling berbahaya dari bangsa-bangsa Besar.
Dewan Editorial
Sotsial-Democrat, Organ Sentral dari P.B.S.D.R [Partai Buruh Sosial Demokrat
Rusia]
Postscript. Dalam Die Neue Zeit pada
tanggal 3 Maret 1916, yang baru saja muncul, Kautsky secara terbuka mengulurkan
tangan rekonsiliasi Kristen kepada Austerlitz ,
yakni seorang perwakilan sovinisme Jerman yang paling busuk, menolak kebebasan
untuk memisahkan diri bagi bangsa-bangsa yang tertindas di Hapsburg Austria
namun mengakuinya untuk Polandia Rusia, sebagai layanan kecil untuk Hindenburg dan
Wilhelm II .
Tidak ada ekspose mengenai Kautskyisme yang lebih baik daripada ini!
---------------
Catatan Untuk Tesis “Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa
Untuk Menentukan Nasib Sendiri”
Ditulis antara
Januari-Februari 1916. Pertama kali diterbitkan tahun 1937 dalam Lenin
Miscellany XXX, diterjemahkan dari bahasa Jerman
Ada persamaan antara
bagaimana umat manusia harus mencapai penghapusan klas-klas dengan bagaimana
umat manusia dapat mencapai fusi bangsa-bangsa. Seperti halnya hanya sebuah
tahapan transisi dari kediktaktoran oleh klas yang tertindas akan membawa kita
ke penghapusan klas-klas, maka hanya kemerdekaan bangsa-bangsa tertindas dan
penghapusan secara riil penindasan nasional akan membawa kita pada fusi
bangsa-bangsa, dan kriteria politik dari kemungkinan ini ada pada kebebasan
untuk memisahkan diri. Kebebasan untuk memisahkan diri adalah alat politik
terbaik dan satu-satunya untuk melawan sistem negeri-negeri kecil yang konyol
dan isolasi nasional yang, karena nasib baik umat manusia, tak terelakkan
sedang dihancurkan oleh seluruh perkembangan kapitalis.
Catatan:
[1] Alfred
Dreyfys, seorang perwira Prancis, seorang Yahudi, yang pada 1894 dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup di pengadilan militer, berdasarkan tuduhan fitnah
bahwa dia melakukan spionase dan pengkhianatan. Pengadilan yang provokatif dan
penuh skandal ini diorganisir oleh kaum reaksioner. Gerakan untuk mendukung
Dreyfus mengekspos adanya korupsi di pengadilan dan pemerintahan, dan
menajamkan pertentangan antara kaum republikan dan royalis. Pada 1889 Dreyfus
dimaafkan dan dibebaskan. Hanya pada 1906, setelah kasus ini diperiksa kembali,
Dreyfus lalu direhabilitasi.
[2] Pada
1913, seorang perwira Jerman menggunakan kata yang kasar yang menghina penduduk
kota Saverne. Penduduk Saverne melakukan protes tetapi ditindas secara kejam
oleh tentara, dimana banyak orang ditangkap tanpa alasan. Peristiwa ini lalu
menyulut perdebatan besar di Jerman dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah
Jerman.
[3] Karl
Kautsky (1854-1938) menyandang reputasi sebagai guru besar Marxis Jerman. Lenin
pun pada satu ketika menganggapnya sebagai gurunya. Akan tetapi, dengan semakin
dekatnya revolusi, semakin menjauh ia dari Marxisme revolusioner. Sampai
akhirnya dia menentang Revolusi Oktober mati-matian dan menjadi salah satu
kekuatan kontra-revolusioner. Lenin dan Trotsky mengecam mantan guru mereka ini
sebagai pengkhianat.
[4] Kandang
Augean merujuk pada mitos Herkules, dimana Herkules ditugasi untuk membersihkan
Kandang Augean yang penuh dengan kotoran ternak, yang selama 30 tahun tidak
pernah dibersihkan.
[5] Heinrich
Cunow (1862-1936) adalah seorang politisi dari Partai Sosial Demokrat Jerman dn
editor koran teori Partai Sosial Demokrat Jerman, Die Neue Zeit, dari 1917
hingga 1923. Dia mendukung Perang Dunia Pertama dan pecah dari Marxisme.
[6] Alexander
Parvus (1867-1924) adalah politisi Partai Sosial Demokrat Jerman, yang juga
aktif dalam gerakan revolusioner Rusia. Pada Revolusi 1905, dia terlibat dan
ditangkap oleh polisi Rusia bersama dengan Trotsky dan kaum revolusioner Rusia
lainnya. Sebagai bagian dari sosial demokrasi Jerman, dia mendukung Perang
Dunia Pertama.
[7] Fabian
Society adalah sebuah gerakan sosialis intelektual di Inggris yang tujuannya
adalah mendorong prinsip sosial demokrasi melalui cara-cara reformis dan bukan
cara-cara revolusi. Kelompok ini dibentuk pada tahun 1884. Sekarang kelompok
ini adalah “think tank” untuk gerakan New Labournya Tony Blair, sebuah gerakan
sayap kanan di Partai Buruh Inggris.
[8] Emile
Vandervelde (1866-1938) adalah seorang politisi dari Belgia dan presiden Partai
Buruh Belgia dari 1928-1938. Dia juga mengetuai Internasional Kedua dari
1900-1918, dimana dia mendukung Perang Dunia Pertama.
[9] Pierre
Renaudel (1871-1935) adalah politisi sosialis dari Prancis, dan menjadi
pemimpin nasional dari SFIO, yakni seksi Prancis dari Internasional Kedua, yang
hari ini adalah Partai Sosialis Prancis. Dia adalah seorang reformis yang
mendukung Perang Dunia Pertama.
[10] Rakyat
Alsatian adalah dari daerah Alsace, yakni wilayah Prancis yang berbatasan
dengan Jerman. Dari 1871-1918 daerah ini ada di bawah jajahan Jerman.
[11] Internasional
Kedua dibentuk pada 1881 oleh partai-partai buruh Eropa. Organisasi
internasional ini mendasarkan dirinya pada gagasan Marxisme. Akan tetapi dalam
perjalanannya, banyak para pemimpin Internasional Kedua mulai mengadopsi
gagasan reformisme. Pada 1914, mayoritas seksi Internasionale Kedua mendukung
Perang Dunia Pertama, dan ini menandai kehancuran organisasi tersebut.
[12] Ilya
Rubanovich (1859-1920) adalah seorang revolusioner Rusia yang bergabung dengan
kelompok Narodnik, yakni Narodnaya Volya, pada 1880an, sebuah kelompok populis
yang berhasil membunuh Tsar Alexander II. Dia lalu bergabung dengan Partai
Sosialis Revolusioner. Pada saat Perang Dunia I, ia lalu mendukung perang ini
sebagai perang untuk membela tanah air. Dia juga lalu menentang Revolusi
Oktober.
[13] Georgi
Plekhanov (1856-1918) adalah Bapak Marxisme Rusia. Dia adalah salah satu
pendiri organisasi Marxis pertama di Rusia: Kelompok Emansipasi Buruh. Dianggap
oleh Lenin sebagai gurunya, dia pada akhirnya berseberangan dengan Lenin
mengenai masalah Revolusi Rusia 1917, dan menentang Revolusi Oktober.
[15] Konferensi
Zimmerwald adalah konferensi internasional yang diselenggarakan oleh kaum
sosial-demokrat atau Marxis yang menentang Perang Dunia, yang bertempat di
Zimmerwald, Switzerland, pada 8 September 1915. Setelah mayoritas kaum sosial
demokrat Internasional Kedua memberikan dukungan mereka kepada negara mereka
masing-masing untuk meluncurkan Perang Dunia, kaum Marxis revolusioner yang
menentang perang pecah dari kaum sosial-demokrat reformis ini. Ikut dalam
konferensi ini antara lain adalah Lenin, Trotsky, Zinoviev, Radek, dan
Martov. Rosa Luxemburg walau tidak hadir juga mendukung kelompok Zimmerwald.
[16] Hohenzollern
adalah adalah keluarga bangsawan yang memegang kekuasaan di Prussia, Jerman,
dan Rumania semenjak tahun 1100. Di Jerman dan Prusia, tahta kerajaan mereka
ditumbangkan oleh Revolusi Jerman 1918. Di Romania, pada 1947 mereka
ditumbangkan oleh gerakan Komunis.
[18] Paul
von Hindenburg (1847-1934) adalah seorang Jendral dari Jerman di dalam Perang
Dunia Pertama dan lalu menjadi presiden Jerman dari tahun 1925-1934.
[19] Wilhem
II (1859 -1941) adalah Kaisar Jerman yang terakhir, yang memerintah Kerajaan
Jerman dan Prusia dari 1888 hingga 1918, dimana kerajaan dia ditumbangkan oleh
Revolusi Jerman.
Sumber: https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm
+ komentar + 1 komentar
Sangat bermakna dan tetap bersuara 💜🙏🏽✊🏽
Posting Komentar