Mengapa Tentara Revolusi West Papua (TRWP/WPRA) Harus Berpisah dari Organisasi Papua Merdeka (OPM)?

Markas Pusat Pertahanan Komando Revolusi Tertinggi Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dengan ini bermaksud menjelaskan satu dari berbagai perhitungan praktis langkah yang telah diambil Panglima Komando Tertinggi Tentara Pembebasan Nasional (TPN atau TEPENAL) di Markas Pusat Pertahanan pada November – Desember 2006: yaitu pemisahan organisasi sayap militer (TPN/TRWP) dari organisasi sayap politik (OPM). Sementara perhitungan strategis dan taktis tidak disampaikan kepada publik dalam media ini.
Secara praktis, setelah berbagai babak kebangkitan bangsa Papua dan perjuangan sejak 1960-an hingga kini telah terjadi berbagai peristiwa penting yang perlu dicatat oleh bangsa Papua dalam mengikuti sejarah tanah dan bangsanya. Bangsa Papua dan khususnya para pejuang kemerdekaan West Papua perlu juga mempejalari dan mengikuti dengan dekat segala perkembangan regional dan global, dalam perhitungan politik dalam memajukan aspirasinya. Khususnya kemenangan bangsa Melanesia di Timor Leste dan nasib bangsa di Nangroe Acheh Darussalam menjadi catatan penting bagi langkah perjuangan dan pembenahan organisasi perjuangan bangsa Papua.

West Papua dan organisasi perjuangannya saat ini diperhadapkan kepada dua pilihan yang harus dan mau tak mau dihadapi dan diputuskan, karena pengkondisian ini telah dilakukan secara global untuk memaksa Indonesia dan West Papua mengambil sikap yang jelas dan tegas: Apakah West Papua harus diperjuangkan untuk berpisah dari NKRI ataukah lebih baik West Papua ada di dalam NKRI? Jawabannya jelas bervariasi, tergantung kepada keuntungan yang dapat diperoleh secara politik dan ekonomi bagi masing-masing pihak yang menjawabnya. Bagi bangsa Papua “M” adalah harga mati. Sementara bagi bangsa lain di dunia, “M” itu merupakan SALAH SATU dari pilihan yang ada, yang harus dipilih oleh bangsa Papua di hadapan NKRI.

Untuk melakukan pemilihan itu, tidaklah pernah dunia internasional secara seratus persen mendengarkan aspirasi bangsa yang memperjuangkan nasibnya untuk keluar dari penjajahan. Yang lazim terjadi adalah proses hitung-menghitung keuntungan bagi masing-masing pihak yang berkepentingan. Yang jelas sejumlah negara Barat sangat berkepentingan dengan West Papua di dalam NKRI. Bagi mereka, West Papua di dalam NKRI adalah syarat yang paling baik karena paling menguntungkan mereka secara ekonomi. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan penderitaan, apalagi aspirasi bangsa Papua. Apalagi bagi NKRI, kepentingan NKRI sama sekali tidak terkait dengan “siapa yang diuntungkan secara ekonomi dari pendudukannya di tanah Papua.” Baginya kebesaran wilayah pendudukannya adalah kunci kejayaan, tidak perduli nasib dan kondisi dari rakyat dan bangsa yang didudukinya itu, tidak ambil pusing dirinya sendiri melarat dan mengemis. Itu urusan nomor ke seratus. Urusan nomor satu ialah NKRI adalah harga mati. Ada SATU kesamaan antara sejumlah negara barat tadi dengan NKRI: yaitu: keduanya merasa beruntung kalau mempertahankan pendudukan NKRI di West Papua.

Sementara itu, bangsa Papua juga telah menyatakan dengan jelas dan memperjuangkannya selama hampir setengah abad lamanya, bahwa Merdeka adalah Harga Mati! Kedua belah pihak telah mematok posisi dan sikap mereka sebagai harga mati.

Walaupun demikian, dalam politik modern, dan di antara bangsa-bangsa beradab, dan terutama sebagai sesama manusia yang berbeda pendapat, konflik haruslah diakhiri, pertumpahan darah hendaknya dihentikan. Dunia kita telah menjadi dunia yang ‘globalised’, yang tidak tertutup dan yang tidak terisolasi. Dunia kita saat ini menjadi dunia yang terbuka dan telanjang. Konflik NKRI-Papua Barat sudah menjadi agenda dan permainan sejumlah negara di dunia. Sebagai bangsa beradab, organisasi perjuangan bangsa Papua haruslah membenahi dan mempersiapkan diri untuk memasuki babak perjuangan yang baru dengan tantangan dan pendekatan yang baru pula, sejalan dengan perubahan geopolitik belakangan ini.

Kita berjalan ke Indonesia dalam kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dalam NKRI. Menjelang kemerdekaan bangsa Melanesia di Timor Leste ada sejumlah kunci yang dipakai waktu itu secara organisasi. Yang paling menonjol adalah penyatuan berbagai organisasi dan/atau faksi ke dalam satu front, United Front. Penyatuan itu menyulut dan mengobarkan api perjuangan bangsa Melanesia di Tomor Leste. Lalu kalau kita bandingkan dengan insiden di NAD, maka terlihat jelas justru penyatuan itu memaksa bangsa Acheh untuk harus bertekuk-lutut kepada penjajah NKRI untuk menerima Perjanjian Damai. Dalam kasus pertama, penyatuan menyulut dan menguatkan api perjuangan, dan yang kedua justru penyatuan itu memenjarakan dan menjerat aspirasi bangsa Acheh untuk harus berbelok arah dari perjuangan untuk memisahkan diri dari NKRI menjadi perjuangan untuk perbaikan dalam berbagai bidang di dalam konteks NKRI. Kalau kita pelajari secara saksama, keberhasilan/kegagalan keduanya tidak hanya ditentukan oleh bangsa yang berjuang untuk melepaskan diri dari NKRI, tetapi kunci permainan ada di tangan kepentingan-kepentingan di luar NKRI, penguasa Bumi ini.

Kini kita masuk ke tanah air. West Papua telah diberikan Paket Otonomi Khusus, sama dengan NAD, di mana ada sejumlah perlakuan dan pengaturan secara khusus diberuntukkan bagi kedua wilayah yang selama ini menuntut kemerdekaannya dari NKRI. Kekhususan di NAD ditekankan kepada aspek agama dan tradisi kehidupan beragama. Sementara kekhususan untuk West Papua lebih dititik-beratkan kepada kekhususan etnik dan ras (sosial-budaya).

Yang menjadi pertanyaan adalah “Mengapa ada otonomi yang khusus kepada kedua wilayah dan bangsa?” Padahal wilayah dan bangsa lain, yang secara kemanusiaan dan sebagai wilayah dan bangsa pendudukan NKRI yang sama kedudukannya hanya diberikan status Otonomi Daerah. Jawabannya jelas, kekhususan itu terkait dengan tuntutan kedua bangsa dan wilayah untuk memisahkan diri dari NKRI. Dengan kata lain, “Status Khusus” sangat dan langsung terkait dengan tuntutan kemerdekaan dan/atau memisahkan diri dari NKRI. Artinya, status khusus adalah jawaban politik untuk membatasi dan akhirnya menghentikan total tuntutan kemerdekaan dari kedua bangsa dan wilayah dimaksud. Dengan kata lain, status ini diberikan berdasarkan kebijakan politik global dan nasional NKRI dalam mempertahankan kedua bangsa dan wilayah tetapi di dalam NKRI.

Oleh karena itulah, maka selama ini bangsa Papua MENOLAK DENGAN TEGAS Otonomi Khusus NKRI di West Papua. Penolakan itu jelas tidak diterima, dan ditolak tegas oleh NKRI dan masyarakat internasional-pun menonton apa kemauan NKRI lebih daripada aspirasi bangsa yang memperjuangkan nasibnya untuk keluar dari NKRI. Sama dengan perjalanan sejarah perjuangan bagsa Acheh, bangsa Papua kini sudah dalam perjalanan menuju kandang persembelihan, kandang di mana bangsa Papua dan organisasi perjuangan Papua Merdeka sedang digiring ke arah duduk bersama NKRI untuk berdialog.

Apa artinya berdialog? Berdialong artinya terjadi komunikasi dua arah antara dua belah pihak: dalam hal ini West Papua dan NKRI. Hasil dari dialog adalah menemukan titik temu, di mana kedua-duanya harus mengorbankan sejumlah perbedaan dan menerima sejumlah persamaan, walaupun pahit sekalipun. Semuanya dilakukan sebagai hasil dari Dialog, atas nama kemanusiaan, perdamaian dunia dan stabilitas keamanan kawasan.

Keberhasilan SBY-JK menyelesaikan konflik berkepanjangan di NAD jelas memberikan kredit point yang besar bagi pemerintahan yang sedang berjalan. Dunia Internasional malahan telah mengajukan SBY sebagai calon penerima Hadiah Nobel Perdamaian. Melihat keberhasilan itu, Dunia Internasional sementara ini sedang mendesak NKRI memainkan kartu yang sama dalam mengakhiri konflik NKRI – West Papua.

Untuk itu, NKRI, khususnya SBY-JK sedang mencari format yang tepatguna. Mereka menghendaki organisasi perjuangan bangsa Papua untuk duduk bersama NKRI dan berdialog. Dialog itu harus jalan. Untuk melayani kepentingan dunia internasional dan NKRI, maka bangsa Papua perlu bersiap dan berbebah diri. Akan tetapi, dengan melayani kepentingan itu, tentara Revolusi West Papua, sebagai satu-satunya dan induk dari angkatan perlawanan bangsa Papua haruslah berbenah diri agar ia tidak terjebak ke dalam skenario “pengkandangan” atau “penjaringan” segenap kekuatan perjuangan seperti yang terjadi di berbagai tempat lain dan khususnya di NAD.

Selain itu kita perlu akui sebuah sejarah, dan fakta bahwa NKRI-lah yang memberi nama OPM sebagai signkatan Organisasi Papua Merdeka. (Silahkan rujuk ke berbagai buku sejarah OPM dan akan Anda temukan bahwa nama “OPM” pada awalnya bukanlah singkatan dari Organisasi Papua Merdeka.) Setelah itu, begitu TPN/TEPENAL dibentuk dan berkiprah dalam perjuangan bangsa Papua melawan penjajahan, maka NKRI pula-lah yang memberikan nama TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka). Memang nama singkatan OPM dan TPN adalah buatan orang Papua, tetapi kepanjangan dari nama OPM dan penempelan nama TPN dengan OPM menjadi TPN/OPM adalah bentukan NKRI. Sebuah nama yang aneh tapi nyata. Mengapa nama OPM ditempelkan ketat dengan TPN? Alasan praktis yang jelas, ini merupakan tindakan taktis yang jelas dipermainkan oleh NKRI untuk menyudutkan OPM sebagai sebuah organisasi bersenjata. OPM sebagai organisasi bersenjata berarti ia tidak layak dan dilarang berpolitik di pentas politik dunia. Makanya baru-baru ini, Kapolda Papua mengatakan, seperti dikutip Cenderawasih Pos, “Kapolda: Separatis Berpolitik Berbahaya.” Dengan kata lain, “Lebih baik kalau separatis tidak berpolitik alias berbicara dengan perjuagnan bersenjata”. Dengan kata lain, “Lebih baik OPM ditempelkan ke TPN daripada OPM berpolitik.”

Setiap perjuangan di muka bumi memang harus memiliki organisasi sayap politik dan sayap militer. Akan tetapi kedua sayap tidak dapat disebut dengan istilah “ATAU” di antara nama mereka, tidak dapat menggunakan tanda strep (/) dalam menyebut nama sayap politik dan sayap militer. Maka organisasi perjuangan bangsa Papua bukanlah TPN strep (/) OPM. Secara gramatikal, istilah TPN strep (/) OPM artinya TPN atau OPM, artinya TPN atau bisa juga disebut OPM. Dalam penamaan oleh NKRI ini, organisasi sayap militer dan sayap politik menjadi sama saja, bukan berbeda. Akibatnya kedua angkatan ditempelkan sebagai organisasi bersenjata, keduanya mendukung kekerasan di Tanah Papua. Itu artinya keduanya tidak dapat berpolitik di pentas politik global. Tidak pelak lagi, dalam banyak buku dan situs intelijen dunia, OPM selalu ditempatkan sebagai organisasi yang mendukung kekerasan di Asia-Pasifik, yang harus diwaspadai oleh kekuatan-kekuatan modern yang menyukai kemapanan kondisi geopolitik dan stabilitas keamanan kawasan.

Melihat perkembangan dan gelagat seperti inilah, maka ada keputusan sebagai hasil dari serangkaian rapat konsolidasi dan reorganisasi angkatan bersenjata perlawanan rakyat Papua di seluruh tanah air selama tahun 2001-2006. Hasil konsolidasi itu jelas menununjukkan perlu ada tindakan untuk membantu OPM dalam kiprah politiknya di dunia, dalam melakukan lobi dan dialog dengan berbagai pihak. Organisasi Politik haruslah dibebaskan untuk berkiprah secara bebas dan aktiv dalam berbagai tingkatan dan pendekatan serta lobi-lobi politik untuk kepentingan bangsa Papua. Untuk itu maka dipandang perlu ada sebuah keputusan resmi dari kedua Organisasi untuk menentukan langkah ke depan. Maka telah dilakukan sebuah Kongres Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat pada 26 November – 3 Desember 2006. Keputusan Kongres Nomor 01 menyatakan sebuah deklarasi bahwa secara resmi Tentara Revolusi Papua Barat (kini menggunakan West Papua) memisahkan diri dari Organisasi Papua Merdeka.

Sebagai tindak lanjut daripada itu, maka telah diselenggarakan sebuah pertemuan yang menghadirkan berbagai pihak dan organisasi dari West Papua di Republik Vanuatu awal tahun 2007. Rapat ini memutuskan membentuk sebuah Koalisi Nasional untuk Pembebasan West Papua. Koalisi ini dimotori oleh OPM, sebagai wadah politik untuk memainkan perannya di pentas politik global. Menurut skenario yang dibangun TPN (sebelum berubah menjadi TRPB/TRWP) sejauh ini, maka sudah jelas bahwa perjuangan bangsa Papua kini telah memasuki babak baru dalam sejarahnya, yaitu sebuah organisasi sayap militer dengan konsolidasi dan reorganisasi yang penuh dan organisasi sayap politik dengan sebuah koalisi hasil konsolidasi yang memiliki kekuatan untuk melakukan tugas-tugas politik dan diplomasi.

Sekarang tiba pada giliran bangsa dan rakyat Papua di manapun Anda berada, untuk merapihkan barisan dan mendukung segala kebijakan yang diambil para pejuang bangsa Papua baik di sayap politik ataupun sayap militer. Sementara bergelut dengan NKRI dalam politik otonomisasinya, hendaknya bangsa Papua tidak melupakan bahwa TRWP dan OPM membutuhkan uluran tangan Anda, tenaga Anda dan dukungan Anda secara moril dan dalam doa.



Penjelasan resmi dari Markas Pusat Pertahanan
Komando Revolusi Tertinggi Tentara Revolusi West Papua,

Amunggut Tabi, Leut. Gen. TRWP
——————————
Secretary-General
NB:
Penjelasan lainnya akan berlanjut.
Setiap pihak yang hendak membacanya, silahkan mendaftarkan diri ke SPMNews Blog.

Untuk mengakses Anggaran Dasar TRPB dan Resolusi Kongres TPN/OPM pertama di Rimba Papua, silahkan ke http://trpb.melanesianews.org (alamat ini juga menggunakan password. Silahkan mintakan password ke koteka@melanesianews.org


___________________________
Dilaporkan Oleh:
Kantor Perwakilan WPRA di Luar Negeri (Indonesia).
 
Share this post :

Posting Komentar

SLIDER

gif creator online

Popular Post

FACEBOOK LIKE

NETWORKEDBLOGS

Total Pageviews

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ALIANSI MAHASISWA PAPUA (AMP) KOMITE KOTA BANDUNG - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger